KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN KEHUTANAN

Kebijakan Peraturan Perundang- Undangan

Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat. Contoh kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan.

Undang-Undang Republik Indonesia No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

Kebijakan Ekonomi Pengusahaan Hutan Indonesia

Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia diawali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu:

  1. Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia dipandang sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional.
    b. Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri.

c. Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga dikenal murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.

Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum teknis dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Tahun 1999 produk hukum Kehutanan kembali diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor : 41 tahun 1999 disertai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 dimana Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam penjelasan, dijelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang.

Peraturan Perundang- Undangan sebagai Instrumen Kebijakan Pemerintah

Makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal:

  1. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya.
  2. Peranan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali.
  3. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehigga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya.
  4. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Tetapi perundang-undangan juga mengandung masalah-masalah yang kemudian timbul, antara lain :

  1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara masyarakat berubah terus bahkan mungkin secara cepat. Akibatnya maka terjadi semacam jurang antara peraturan dan masyarakat. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan membutuhkan hukum sendiri sesuai dengan kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri akan “terpaksa” menerima peraturan perundang-undangan yang sudah “ketinggalan”. Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dapat dirasakan sebagai “ketidakadilan” dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat.
  2. Peraturan perundangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum. Dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut sebagai kekosongan hukum atau “rechtsvacuum”. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) bukan kekosongan hukum (rechtsvacuum). Hal ini sesuai dengan ajaran Cicero, ubi societes ibi ius, maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila “hukum resmi” tidak memadai.
  3. Resiko perumusan umum. keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan secara umum akan membatasi perbedaan yang menjadi nilai tambah tersendiri, dimana seharusnya nilai tersebut dilindungi bukan disamaratakan (Satjipto Rahardjo.2000;85)

Cara untuk mengatasi kekurangan peraturan perundang-undangan adalah dengan memperbesar peranan hakim. Hakim bukan sekedar “mulut” undang-undang, tetapi sebagai yang mempertimbangkan baik-buruk, manfaat-mudarat suatu peraturan perundang-undangan agar hukum tetap terlaksana dengan adil dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu hakim harus menafsirkan, melakukan analogi.

Permasalahan dan Isu Implementasi Kebijakan Kehutanan di Indonesia

Kebijakan kehutanan berkaitan dengan berbagai hal yang hubungannya cukup rumit. Berdasarkan hal ini pula banyak masalah-masalah kehutanan yang sukar untuk dipecahkan. Namun secara sederhana, kebijakan kehutanan dapat dianalisis dalam skema dibawah ini.

Skema tersebut dapat dianalisis untuk berbagai kebutuhan kebijakan hutan. Masalah-masalah yang biasa hadir dalam pengelolaan hutan Indonesia, seperti masalah pinjam pakai kawasan hutan yang biasa dipakai untuk kegiatan tambang, izin pembukaan hutan alam, kebakaran hutan, dan korupsi di bidang kehutanan harus segera diselesaikan sampai ke akar masalah agar bangsa Indonesia lebih sejahtera berdampingan dengan alam yang asri.

Hierarki Peraturan Perundangan Di Indonesia

Berdasarkan azas “lex superiori derogate lex inferiori” yang maknanya hukum yang unggul mengabaikan atau mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Maka kami merasa harus memberikan penjelasan mengenai tata urutan perundang-undangan di Indonesia.

Definisi :

  1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
  2. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar (konstitusi) yang tertulis yang merupakan peraturan negara tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan nasional.
  3. Ketetapan MPR merupakan putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR, yang terdiri dari 2 (dua) macam yaitu :
  4. Ketetapan yaitu putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis;
  5. Keputusan yaitu putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.
  6. Undang-Undang (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan bersama Presiden.
  7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan :
  8. Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut;
  9. DPR dapat menerima/menolak Perppu tanpa melakukan perubahan;
  10. Bila disetujui oleh DPR, Perrpu ditetapkan menjadi Undang-Undang;
  11. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
  12. Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
  13. Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
  14. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan Gubernur.
  15. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Bupati/Walikota.

DAFTAR PUSTAKA

http://aldhiayhu.blogspot.co.id/2014/10/kebijakan-kehutanan-dan-masyarakat-lokal.html

https://interspinas.wordpress.com/2010/01/27/8/

https://foresteract.com/kebijakan-kehutanan/

http://mukti-aji.blogspot.co.id/2009/03/kebijakan-pemerintah-untuk-pengelolaan.html

http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/tata-urutanhierarki-peraturan-perundang.html

Tinggalkan komentar